Sabtu, 28 November 2009

Reformasi Sistem Penegakan Hukum di Indonesia


Dari Pentas Hukum Rimba

Negara Reptil:

Cicak dan Buaya

(dan Biawak, dan Naga)


Arah Sebenarnya Reformasi

Sistem Penegakan Hukum Indonesia


Oleh: Benni E. Matindas




Perang terbuka antar lembaga-lembaga penegak hukum — POLRI, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) — memperlihatkan kepada kita sejumlah masalah yang saling berkaitan dan sudah sangat parah mengeroposkan bangunan negara ini. Sudah sedemikian jauhnya keterpurukan dalam hal kualitas fungsi dari semua lembaga penegak hukum, sehingga begitu gampangnya setiap saat bisa dibeli oleh segala pencoleng melalui tangan-tangan para makelar kasus.

Tapi kenyataan mengerikan tersebut sungguh bukan berita baru dan luarbiasa. Itu sudah sama kita tahu, dan sudah amat biasa. Bukan baru sekarang, beberapa tahun lalu sudah terungkap jelas betapa bahkan sejumlah Hakim Agung di Mahkamah Agung RI ternyata sudah biasa melepas fungsi agungnya itu buat menjalankan fungsi sebagai calo jual-beli vonis perkara. Apalagi ‘hanya’ di jajaran kepolisian dan kejaksaan. Makelar kasus (markus) jelas bukan cuma orang-orang dari luar lembaga-lembaga penegak hukum, tapi juga para penegak hukum itu sendiri, bahkan para petingginya, bahkan pula para hakim yang agung. Dan bila lembaga pengadilan sampai di tingkat Mahkamah Agung sudah menyimpang sejauh itu maka pastilah tak mungkin kita berharap kejaksaan dan kepolisian bisa lurus.

Jadi, bukan kesimpulan dan pengungkapan fakta-fakta mengerikan itulah yang terutama hendak disampaikan dalam risalah ini. Yang hendak diberitahu di sini ialah, langsung saja, bahwa masalah-masalah seperti perseteruan antar-institusi penegak hukum itu pasti tak akan mungkin bisa dibereskan oleh segala “Rekomendasi Tim 8” maupun sekadar political will seorang Presiden. Pasti akan selalu timbul lagi. Karena semua ini berpangkal dari masalah ketidakberesan tatanegara dan sistem hukum secara mendasar.

I. Apa yang kita saksikan sebagai konflik antara Polisi dan KPK, KPK dan Kejaksaan, sesungguhnya adalah sesuatu yang niscaya harus terjadi. Selalu akan pasti terjadi, bahkan di luar soal berebut lahan pencaharian karena berkenaan dengan para pencoleng dana besar yang siap menyuap besar demi kelangsungan jabatan tinggi maupun bisnis besarnya.

II. Sebelum kita lanjut dengan melihat apa penyebab keniscayaan itu, perlu kita semua diinghatkan tertang bahaya serta akibat dari konflik antar lembaga penegak hukum yang sudah dan akan terus berulang seperti itu. Bahayanya bukan saja pemberantasan korupsi akan terhambat secara sangat serius, dan akan semakin terhambat serius ketika lembaga-lembaga itu sudah “berdamai” atau lebih tepatnya sedang masuk masa ‘gencatan senjata’, karena mereka akan saling sungkan sehingga banyak area hitam yang tak dimasuki oleh satu pun dari lembaga-lembaga penegak hukum ini meski sudah amat kuat indikasi kejahatan di situ; atau sebaliknya dimasuki berbareng tapi sudah dengan kesiapan untuk berdamai dalam arti sama-sama meloloskan si penjahat yang penting sama-sama dapat untung dan yang lebih penting lagi tak perlu terjadi konflik antar para penegak hukum.

Hambatan terhadap pemberantasan korupsi akan terhambat serius bukan saja oleh gejala psikologis dari para penegak hukum seperti itu, melainkan karena memang potensi dualisme yang sudah ada sedari dasarnya. Potensi terjadinya dualisme ini bahkan bersumber dari dua sebab berjenjang. Pertama, ketidakberesan dalam sistem hukum yang menyuburkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum inilah yang segera menumbuhkan kecenderungan untuk melanggar sistem mekanisme hubungan kerja antar lembaga yang kendati sudah ada; inilah penyebab mengapa POLRI dan Kejaksaan RI pun sering berkonflik sebelum ada KPK (dan konflik antara Polisi dan Kejaksaan hanya terkurangi oleh gejala kerjasama saling “berdamai” demi keuntungan bersama, yang dirasa lebih baik dibanding harus berkonflik). [Mengenai potensi alamiah dan kecenderungan dari pihak Polisi maupun Jaksa untuk tidak menjalankan fungsinya dalam sistem kemitraan yang seharusnya, baca Benni E. Matindas, Negara Sebenarnya, Jakarta: Widyaparamitha, 2005; Bab XIV Bgn 10 dan 11. Terutama dari pihak polisi (hlm.675-7). Meski dari pihak Kejaksaan pun kemudian sama, sehingga berakibat misalnya sepasukan polisi mengepung kantor kejaksaan di Banjarmasin pada tahun 1973, lantaran jaksa menyusun dakwaan yang lemah sehingga hakim membebaskan terdakwa, padahal pihak polisi yang menanganinya di tahap awal sangat yakin dan dengan bukti kuat bahwa yang bersangkutan adalah pelaku kejahatan.]

Penyebab kedua, kehadiran KPK. Dualisme yang menggagalkan penegakan hukum bukannya ditanggulangi malah ditambah dualisme yang baru dan yang lebih pasti. Semakin KPK menyadari fungsi mulianya sebagai juru selamat penegakan hukum yang gagal ditunaikan POLRI dan Kejaksaan justru akan semakin besarlah daya inersia serta resistensi dari Polisi maupun Kejaksaan, dan itulah penyebab jelas dari sikap Polisi ‘mengangkat senjata hukum’ serta mengumumkan perang untuk membuktikan pihaknya sebagai “buaya” di hadapan KPK yang cuma cicak. [Kekacauan sistema akibat kehadiran KPK ini dapat dibaca lebih jelas dalam Benni E. Matindas, Negara Sebenarnya, Bab XIV Bgn 9 mengenai segala komisi dan mahkamah istimewa untuk menebus kegagalan penegakan hukum.]

III. Jadi, sangat jelas, tak ada harapan sama sekali dengan keberadaan KPK. Karena, terjadinya dualisme serta konflik antara KPK dan POLRI, maupun KPK dan Kejaksaan, sesuatu yang pasti terjadi, akan melemahkan pemberantasan korupsi, bahkan pelbagai korupsi oleh oknum-oknum penegak hukum sendiri. Juga sebaliknya, bila lembaga-lembaga penegak hukum itu tak berkonflik, bila mereka saling berdamai, justru lebih berbahaya karena akan lebih banyak penjahat yang luput dari jerat hukum.

Dan, sekali lagi, tak mungkinnya lembaga-lembaga penegak hukum itu bersinergi dalam suatu sistema mekanisme hubungan fungsional yang benar disebabkan oleh sistem hukum itu sendiri yang tak dapat berfungsi secara seharusnya. Setiap anggota POLRI maupun Kejaksaan, sedari awal karirnya, akan tumbuh dengan kesadaran bahwa percuma untuk sungguh-sungguh menegakkan hukum. Lantaran ujung dari semua proses penegakan hukum, yakni pengadilan dan penghukuman, ternyata dapat dengan gampangnya diselewengkan hakim untuk memihak pada kejahatan dan ketidakadilan. Dan selanjutnya, dan mereka harap untuk selamanya, para hakim tak takut diusut oleh polisi dan jaksa lantaran para polisi dan jaksa sudah ikut keasyikan memperoleh keuntungan pribadi dari sikap serta tindakan tak sungguh-sungguh menegakkan hukum seperti itu.

IV. Jelaslah sudah, pangkal masalahnya ialah sistem hukum yang keliru. Sistem hukum yang tak mungkin mencapai supremasi hukum. M e n g a p a ?

Penyebabnya ada lima sekaligus: (1) Asas independensi hakim yang disalahgunakan, lantaran pengertian yang sudah dirancukan; (2) Kekuasaan peradilan yang tidak diawasi oleh lembaga kekuasaan apapun, lantaran belenggu teori Trias Politika; (3) Ketidakpastian hukum akibat inkonsistensi hukum, lantaran falsafah dasar yang kabur; (4) Ketidakpastian hukum akibat inkonsistensi penegakan hukum, lantaran konsep keadilan yang sudah diperbanyak artinya; (5) Ketidakpastian hukum akibat inkonsistensi penegakan hukum, lantaran asas-asas hukum yang tanpa sistematika keasasian.

1. Asas independensi hakim yang disalahgunakan, lantaran pengertian yang sudah dirancukan. Independensi peradilan sesungguhnya hanya mengenai penolakan terhadap campur tangan pihak manapun dalam proses peradilan; terlebih ditujukan untuk mewaspadai intervensi penguasa yang selamanya memiliki kepentingan serta kecenderungan untuk memanfaatkan posisi kekuasaannya dengan mempengaruhi keputusan pengadilan. Itu saja, dan tak boleh diartikan bahwa hakim boleh bebas sepenuhnya. Tak boleh diartikan bahwa hakim boleh sesuka hati memutuskan tanpa dinilai oleh, dan harus bertanggung jawab pada, lembaga kekuasaan manapun.

Asas independensi hakim harus hanya sebatas tak boleh diintervensi oleh lembaga kekuasaan manapun. Tapi asas ini kemudian telah dilebarkan ke mana-mana lantaran kerancuan (confused) yang terjadi sejak tumbuhnya (dimulai dari dalam sistem hukum di AS) konsep hakim sebagai pencipta hukum dengan asas independensi yang diartikan tidak tergantung pada semua hukum positif yang ada sebelumnya. Ini sesuai dengan filsafat Pragmatisme, yang dianut umumnya masyarakat AS, yang menganggap tak ada kebenaran yang sudah ada sebelumnya, karena kebenaran baru hendak dirumuskan melalui setiap pengalaman/kasus baru. Ekstremisasi asas independensi inilah yang mempengaruhi, melalui perancuan nalar, tumbuhnya pengertian independensi total bagi setiap hakim dan proses peradilan. Padahal, sementara filsafat pragmatisme itu sendiri keliru jika diterapkan secara menyeluruh (karena bahkan peradilan itu sendiri tak akan pernah ada jika semua hukum yang ada harus dinihilkan dan dianggap baru hendak diciptakan lewat proses peradilan), independensi hakim/peradilan tak boleh dan tak mungkin. Tak boleh karena begitulah hukum yang sebenarnya. Dan tak mungkin karena justru ketika hakim tak diawasi oleh suatu lembaga kekuasaan yang hak maka segala kekuasaan yang tak hak (penguasa politik, penyuap dengan uang banyak, pemegang kekuatan fisik, pengerah massa ataupun golongan mayoritas, dan lain-lain) pasti akan dengan gampangnya mengintervensi. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab XIV Bgn 7 “Fatamorgana Independensi Hakim. Bebas untuk Bingung dan Berbohong!”]

2. Kekuasaan peradilan yang tidak diawasi oleh lembaga kekuasaan apapun, lantaran terbelenggu oleh pola pikir Trias Politika. Sungguh aneh, dalam sistem negara demokrasi, dan pula sudah di zaman modern ini, ada lembaga pemegang kekuasaan besar tapi tanpa diawasi secara mekanistis oleh lembaga kekuasaan lain dengan kadar kedaulatan yang memadai. Kekuasaan pengadilan/kehakiman (yudikatif) berlangsung tanpa diawasi oleh lembaga kekusaan manapun, lantaran dua sebab: para konseptor tatanegara masih terbelenggu oleh pola pikir Trias Politika dan karena lembaga kekuasaan pengawasan tertinggi sudah menjadi tak layak akibat kehadiran partai-partai.

Hampir tak ada lagi negara di muka bumi ini yang tak mengatakan bahwa mereka sudah tak menganut konsep Trias Politika secara murni, tetapi justru beberapa salah kaprah terbesar dari Trias Politika tetap dilestarikan di semua negara itu. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab.VIII.] Konsep pemisahan lembaga-lembaga tinggi kekuasaan negara tersebut menggiring orang di setiap generasi untuk menyetarakan 3 lembaga kekuasaan yang terpisah itu (Lembaga Perwakilan Rakyat, Pemerintah dan Lembaga Peradilan; Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif). Maka DPR yang adalah lembaga kedaulatan rakyat pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi hanya disetarakan dengan, dan tak berhak mendaulat, pemerintah. Apalagi dalam tatanegara yang — gara-gara memfungsikan partai dalam sistem kelembagaan kekuasaan negara — menganut sistem pemerintahan Presidential/“Kepala Negara” (sebagai koreksi atas sistem parlementer) dan/atau sistem Parlemen Bikameral. Kepala Negara bukan di bawah, bahkan bukan hanya setara, melainkan di atas DPR dan dapat membubarkan DPR. Yang setara dengan Kepala Negara adalah Congress/Parlemen/ MPR saja, bukan Dewan Rakyat/House of Representative/ Majelis Rendah.

Dalam komposisi kesetaraan lembaga-lembaga kekuasaan negara itu pun kekuasaan kehakiman menjadi tanpa pengawasan dan tanpa arah pertanggungjawaban (kecuali pertanggungjawaban pribadi kepada “Tuhan” dan “hati nurani hakim”). Padahal terlarang oleh logika sistem negara demokrasi manapun untuk membiarkan suatu kekuasaan tanpa kekuasaan pengawas dengan kekuatan politik lebih tinggi dan yang bekerja secara mekanistis. Dan kekuatan lebih tinggi serta tertinggi itu adalah/haruslah DPR yang merupakan badan perwakilan/pelaksana kedaulatan rakyat .

Rakyat kehilangan daya daulatnya yang seharusnya tertinggi. Lembaga-lembaga kekuasaan negara berlangsung tanpa pengawasan. Maka hukum yang ada hanya justru untuk ketidakadilan. Kekuasaan negara disalahgunakan di semua lini, semua sektor dan semua tingkatan, hanya untuk kepentingan sendiri dari masing-masing orang. Pengambilan keputusan publik didasarkan demi kepentingan pihak-pihak tertentu belaka.

Pemerintah sudah disetarakan di puncak, bersama majelis rakyat yang kendati harus satu-satunya tertinggi. Yang benar ialah bahwa yang tertinggi harus hanya satu, tapi sudah dibikin dua, lalu ditambah lagi dengan lembaga yudikatif. Semua sudah bertimbun tumpang-tindih di posisi tertinggi secara setara, maka hilanglah hirarkhi yang padahal mutlak dibutuh demi adanya mekanisme pertanggungjawaban serta pengawasan.

Lembaga peradilan adalah bagian dari fungsi pengawasan. Ia seharusnya berada langsung di bawah dewan rakyat yang merupakan institusi pengawasan negara tertinggi.

Sekarang lembaga peradilan tidak memiliki lembaga kekuasaan di atasnya sebagai pengawas yang sah, padahal ia bukan lembaga tertinggi yang menerima langsung mandat kekuasaannya dari rakyat. Maka pelbagai kekuasaan tak hak pun segera masuk menguasai dan secara real menjadi pengendalinya — kekuasaan dari penguasa pemerintahan, kekuasaan partikular pemilik kekuatan uang, kekuasaan militer pemegang kekuatan fisik, kekuasaan partai pengendali kekuatan massa, kekuasaan media massa pembentuk opini publik, dan sebagainya — sehingga berakibat makin ngawur dan sekaligus lemahnya penegakan hukum secara menyeluruh, sebab putusan pengadilan adalah titik puncak penentu segenap proses sistem hukum.

Para ahli tatanegara di masa lalu, sebagaimana perancang trias politika, memosisikan lembaga kehakiman di puncak lantaran pola pikir yang dirancukan oleh: (1) Terbawa tradisi dari zaman lampau dimana fungsi hakim sangat sentral dalam negara yang aktivitas hukumnya paling dominan dalam hal pembentukan awal budaya tertib, adil, sopan, menjaga keamanan masyarakat dari pelbagai perilaku liar di masa awal pemberadaban. Dibedakan dengan penyelenggaraan negara modern yang sangat dipenuhi aktivitas pembangunan ekonomi. (2) Ada asumsi praktis bahwa lembaga ini toh tak akan berbuat macam-macam karena bukan lembaga politik dan bukan berisi para politisi, tidak seperti dua lembaga lainnya. (3) Pola pikir yang dirancukan oleh asas independensi peradilan/hakim, tak boleh ada kekuasaan dari luar dan apalagi dari atas yang boleh mengendalikan hakim. Akibatnya para hakim yang “tak boleh” tapi tetap bukan tak bisa dikendalikan pelbagai kepentingan para pemilik kekuatan justru dikuasai oleh pelbagai kekuatan tak hak yang sebagiannya menyatu dengan kepentingan pribadi para hakim. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab VIII Pembagian Kekuasaan Negara, dan Bab XIV Bgn 8 “Posisi Tersesat Lembaga Kehakiman”]

Sedangkan para ahli tatanegara di zaman modern masih mempertahankan posisi lembaga kehakiman di puncak tanpa pengawas di atasnya lantaran tiga alasan: (1) Masih tetap dirancukan oleh asas independensi hakim, karena memang merupakan asas yang abadi. Bahkan ada sejumlah masalah dalam penegakan hukum dipercaya dapat diatasi dengan penegakan asas ini. Padahal, walau memang benar asas ini abadi dan selalu dibutuhkan, tapi maksudnya adalah bahwa keputusan hakim untuk mencapai keadilan dan kebenaran tertinggi itu yang tak boleh dipengaruhi oleh kekuatan dan kekuasaan manapun, bukan keputusan hakim yang “menguntungkan ketidakadilan serta pelaku kejahatan” yang tak boleh dimintai pertanggungjawaban. (2) Kerancuan berpikir yang menganggap check & balance itu sebagai sebuah “sistem” yang jelas karena membayangkan prosesnya sebagai mekanisme berbentuk cyrcle yang mengatup/tertutup — sehingga cukup bisa dijadikan andalan. Padahal checking and balancing, atau sistem hubungan antarlembaga kekuasaan yang bagaimana pun, selama tak memiliki hirarkhi (yang karenanya harus berpuncak pada satu kekuasaan tertinggi), hanya akan menjadi arena adu kekuatan real dimana pihak-pihak yang paling besar kekuatan real akan menjadi pengawas dan pengendali atas semua. Beberapa negara maju bisa cukup mengandalkan formasi check and balance ini karena cukup terkonsolidasinya civil society (yang didasarkan pada kemandirian ekonomi masyarakat, taraf pendidikan, serta budaya kemandirian); masyarakat tak mudah terbeli oleh kekuatan real uang atau terintimidasi oleh kekuatan real militer maupun massa. (3) Sulit bagi para ahli tatanegara untuk bahkan sekadar membayangkan DPR sebagai pemegang kekuasaan pengawasan atas lembaga peradilan, karena DPR bahkan tak mampu menunjukkan diri sendiri sebagai lembaga yang baik atau mampu mengarahkan ke arah keadilan dan kemuliaan. DPR dipenuhi para penyalah guna kekuasaan negara demi kepentingan pribadi dan partai.

DPR yang kendati lembaga kekuasaan pengawas tertinggi dengan kedaulatan tertinggi tapi jelas tak mungkin bisa dipercaya menjadi pengawas sistem peradilan, karena isi serta kinerja DPR yang kualitasnya jauh dari harapan untuk fungsi pengawasan tertinggi negara. Kualitas DPR yang harus rendah akibat keberadaan partai-partai dalam sistem tatanegara.

Jelas memang, satu halangan terbesar, dan berakar, dalam mewujudkan sistem pengawasan yang paling kuat dari lembaga kedaulatan rakyat tertinggi, berpangkal dari kehadiran partai-partai dalam lembaga-lembaga negara yang didasarkan pada konsep warisan tua yang salah kaprah. Konsep yang mengira partai adalah keniscayaan demokrasi dan fungsi parlemen, padahal demokrasi maupun parlemen sudah lama ada sebelum dan tanpa adanya partai-partai. Baik secara historis maupun filosofis, partai bukan elemen eksistensial dari sistem demokrasi. Tak kalah ngawurnya lagi pandangan yang mengira eksistensi partai adalah perwujudan hak asasi di bidang politik, padahal berpartai memang merupakan hak asasi warga untuk berkumpul dan berserikat tetapi partai-partai itu sendiri tak memiliki hak asasi untuk apapun terlebih untuk menghancurkan negara dan bangsa. Partai tidak memiliki hak asasi, hak asasi hanya melekat pada individu warga. Partai, sebagaimana halnya perusahaan, organisasi masyarakat lainnya, bahkan pula negara, hanya memiliki hak-hak yang diberikan berdasar konsensus warga demi kemaslahatan warga dan bangsa. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab III, IV, VI dan VII.]

Memang pengalaman di sejumlah bangsa terlihat bahwa partai, baik secara historis maupun logis, terposisi sebagai pembentuk lembaga negara. Dan sejarah beserta logika inilah yang selanjutnya dan nyaris selamanya merancukan pola pikir banyak bangsa dalam bertatanegara, menjadi hambatan keras bagi penyempurnaan sistem politik negara-negara ke arah yang sebenarnya. Sejarah di sejumlah negeri terjajah menunjukkan betapa perjuangan mencapai kemerdekaan dan mendirikan negara oleh bangsa-bangsa tersebut memang mengandalkan peran partai-partai politik (dengan ideologi nasionalisme, keagamaan, maupun pelbagai ideologi modern yang masuk dari luar dengan atau tanpa melalui organisasi internasionalnya). Sejarah ini lantas dijadikan model permanen, bahwa partai mendasari pembentukan lembaga kekuasaan negara. Pola pikir ini bertambah kukuh lantaran dirancukan dengan logika bahwa politik mendahului administrasi negara; penyelenggaraan tatanegara hanyalah implementasi ideologi politik. Padahal itu hanyalah logika sangat umum (tentang hubungan antara ide dan praktik), dan eksistensi serta fungsi negara pun merupakan ide dasar yang di dalamnya berlangsung upaya-upaya/praktik politik. Negara adalah tahap evolusi yang dicapai kebudayaan suatu masyarakat, menjadi bagian obyektif dari eksistensial masyarakat manusia, yang di dalamnya diatur penyelenggaraan praktik politik (termasuk upaya politik warga melalui wadah partai-partai). Sejarah pun tak boleh dijadikan sumber kebenaran satu-satunya; suatu peristiwa dalam sejarah pastilah keliru jika dipaksakan untuk dijiplak menjadi model satu-satunya dan selamanya. Karena, jangankan dari masa lalu, bahkan sebaliknya model yang sangat logis dan jelas memenuhi syarat kebenaran yang dirancang untuk hari ini dan esok pun harus selalu difalsifikasi demi menjamin kebenarannya sebagai pemenuh kebutuhan manusia. [Keharusan ini sudah diketahui oleh banyak orang melalui pengalaman sehari-hari semenjak awal keberadaan spesies berkesadaran ini; sedang rumusannya sebagai wacana epistemologis, yang sempat terdokumentasi, dirintis sejak Aristoteles, Descartes, William James, Dewey, dan terutama Popper.]

Partai hanya layak untuk pelbagai peran dalam masyarakat, termasuk sebagai team sukses untuk pemenangan para kandidat legislator dan eksekutor pemerintahan, di luar fungsi resmi kelembagaan negara. Sistem kepartaian tidak boleh menjadi subsistem atau bagian dari syarat sistem pembentukan maupun pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga negara tersebut. Kehadiran partai secara resmi dalam lembaga kekuasaan negara memerosotkan kualitas setiap lembaga tersebut. Partai-partai memerosotkan kualitas parlemen dalam menjalankan fungsi pengarah dan pengawas negara. Mulai dari rendahnya kualitas anggota parlemen yang terpilih akibat sistem pemilu yang tidak diabdikan pada hakikat pemilu parlemen. Kehadiran partai-partai melogiskan (secara filosofis) dan memaksakan (secara politis) sistem pemilu proporsional, sistem yang hanya diabdikan pada eksistensi serta kepentingan partai. Bukan untuk memilih tokoh yang paling dipercaya rakyat. Setelah duduk di parlemen pun kinerja para anggota sulit berkualitas negarawan, tak boleh berbuat lebih daripada pesuruh partai yang harus berjuang demi kepentingan sepihak partainya sendiri, bukan untuk rakyat dan negara keseluruhan. Penyebabnya tiga sekaligus, dan ketiganya pun ada hanya demi keberadaan serta kepentingan partai: lembaga fraksi, recalling dan kecondongan untuk secepatnya voting. Fungsi fraksi untuk membunuh daya kreatif dan kritis anggota parlemen (— daya-daya utama yang justru adalah fitrah bagi anggota parlemen sejati). Dalam fraksi semua anggota dewan rakyat diresimentasi; keseragaman suara fraksi yang dikomando dari dewan pimpinan pusat partainya mengatasi kecerdasan anggotanya dan memberangus tanggung jawab setiap anggota parlemen pada seluruh rakyat. Sistem fraksi, yang dengannya ada fraksi terbesar, adalah dorongan niscaya untuk parlemen selalu secepatnya mengambil keputusan melalui voting (dan yang sering tertutup pula) sehingga para anggota parlemen bisa menyembunyikan kualitas nalarnya yang minim dan menyembunyikan sikap khianat terhadap konstituennya. Pengawasan yang sungguh-sungguh awas oleh lembaga kedaulatan tertinggi atas lembaga-lembaga kekuasaan lainnya pun menjadi tak mungkin, sebab partai-partai dalam lembaga kedaulatan rakyat (parlemen) memiliki banyak kepentingannya dalam lembaga-lembaga kekuasaan negara tersebut. Pengawasan pasti berkurang dayanya bila misalnya parlemen didominasi partai yang sama dengan partai penguasa pemerintahan/presiden; demikian pula sebaliknya pengawasan akan berkurang kualitas arahannya bila parlemen didominasi partai oposisi pemerintah, arah kebijakan pemerintah yang sudah benar pun akan selalu disalahkan atau tak didukung.

3. Ketidakpastian hukum akibat inkonsistensi hukum, lantaran falsafah dasar yang kabur. Hukum positif dalam suatu negara bisa dikembangkan — dalam arti menjalani progresivitas secara pasti dan bisa diakselerasi, tidak sering mengalami regresi akibat harus menjalani koreksi secara mendasar — kalau dasarnya jelas dan benar. Tetapi dasar untuk pengembangan hukum di Indonesia, yakni Dasar Negara Pancasila, tidak dapat berfungsi sebagai sejatinya dasar falsafah pengembangan hukum. Sebab, sebagaimana kritik dari ahli filsafat Prof. Sutan Takdir Alisjahbana, Pancasila belum merupakan sistem ide yang utuh, sila-sila dalam Pancasila masih tercerai-berai seperti pasir di pantai. Belum berada dalam kesatuan ide yang koherensif. Sila Pertama mengenai ketentuan setiap warga negara adalah insan yang bertuhan itu bertentangan dengan asas kebebasan dalam negara demokrasi sebagaimana diamanatkan Sila Keempat. Demikian pula sila-sila lainnya. Dengan demikian Pancasila akan selalu dapat ditafsir berbeda oleh setiap orang. Sehingga tak mungkin dapat menjamin konsistensi dalam setiap produk perundang-undangan maupun konsep-konsep bernegara lainnya. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab I Bgn 6. Beberapa ahli telah mengupayakan sistema ide Pancasila; antaranya yang layak dicatat karena memberi kontribusi yang berarti bagi pengembangan konsep Pancasila yakni Prof. Soediman Kartohadiprodjo, Prof. Buya HAMKA, Dr. Mohammad Hatta, Prof. Dr. Mukti Ali, Ds. H. Rosin dan Prof. N. Drijarkara (— lainnya cuma mengajukan pelbagai konsep yang lucu dan melantur kendati mengira sebagai kajian “ilmiah”, sebagaimana jelas terbaca pada begitu banyak buku yang diberi judul “Filsafat Pancasila” yang kendati digunakan di pelbagai perguruan tinggi). Namun semuanya belum memadai sebagai sebuah kesatuan sistem ide khas Pancasila dengan pemaknaan sila-sila yang khusus dan jelas.]

Sebetulnya, sebelum sistem filsafat Pancasila selesai dirumuskan secara benar dan jelas, hukum positif setiap negara dapat dikembangkan berdasar dan bersumber pada hak-hak asasi manusia (HAM) yang pula harus dikembangkan terus-menerus secara dinamis untuk menjadi dinamisator pengembangan umat manusia. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab II Bgn 2-7 dan Bab I Bgn 1]

4. Ketidakpastian hukum akibat inkonsistensi penegakan hukum, lantaran konsep keadilan yang sudah diperbanyak artinya. Pengertian “keadilan” sudah multi-makna. Keadilan sebagai fitrah hukum yang pengertiannya harus jernih, sederhana, tandas dan tegas, sudah dimengerti dengan banyak makna, sehingga justru berpotensi mengacaukan, menimbulkan kondisi relatif, dan akhirnya ketidakpastian hukum. Terhalanglah penegakan keadilan, dan berkembanglah ketidakadilan. Sangat menghalangi pencapaian supremasi hukum.

Keadilan tak boleh lain artinya dari kesamaan (equality). Persamaan hak. Justice, dari kata justus yang berarti lurus, rata, samarata atau tak timpang. Dua bilah timbangan berada dalam garis lurus mendatar. Tapi dalam perkembangannya — sejak para arifin dalam pelbagai agama maupun para filsuf bangsa-bangsa kuno — sejumlah kondisi bajik lainnya sudah diberi nama “adil”. Sesudah itu masih pula bertambah terus, bahkan beberapa filsuf sosial di zaman modern — salah satu yang terkenal yakni John Rawls, yang telah mengembangkan konsep atau pengertian keadilan yang justru bertolak belakang dengan prinsip equalitas. Padahal yang Prof. Rawls maksud itu sebenarnya bukan keadilan sebagai asas dari suatu proses/tindakan, yang ia maksud hanyalah sebagai program untuk memperbaiki kondisi buruk yang merupakan ekses dari suatu proses. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab II Bgn 9.]

Pembanyakan, dan pembingungan, makna “adil” terus berlangsung. Belakangan yang terkenal ialah dari filsuf-filsuf Derrida dan Habermas. Tapi pada prinsipnya sama saja, mereka sebetulnya tidak membicarakan asas yang tetap dari suatu proses — yang menjadi kebutuhan dalam sistem hukum. Apalagi Jacques Derrida, yang meyakini bahwa setiap undang-undang (sebagaimana setiap teks apapun) hanya ditujukan untuk pihak tertentu dan menelantarkan banyak pihak lainnya, sehingga dalam setiap penerapan undang-undang dan aturan hukum manapun sudah pasti tak mungkin ada keadilan bagi pihak-pihak yang lain itu. Jelas bahwa Derrida hanya terjebak pada grand idea filsafatnya sendiri yang memaksa setiap kita untuk harus memerhatikan dan memosisikan secara sama sekaligus semua yang ada di alam semesta ini, karena semuanya saling terkait dalam satu struktur, dan karena mengira tak ada kesempatan berikut untuk kita memerhatikan semua yang lain dari yang sekarang menjadi perhatian kita.

5. Ketidakpastian hukum akibat inkonsistensi penegakan hukum, lantaran asas-asas hukum yang tanpa sistematika keasasian. Asas-asas hukum dipegang tanpa sistematika mengenai mana yang lebih mendasar atau lebih asasi dan yang mana yang lebih bersifat derivatif atau hanya implikasi dari asas lain yang lebih mendasar. Akibatnya yang terparah: (1) Kebenaran tertinggi tak pernah dapat dijamin pencapaiannya; (2) Tafsir atas undang-undang menjadi sangat nisbi atau relatif, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum luar biasa; (3) Makna atau pengertian dari setiap asas hukum bisa bergeser jauh dari hakikatnya. Contoh dari akibat yang tersebut pada butir ketiga terlihat jelas misalnya pada pengertian asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali — tak ada kejahatan dan hukuman kalau sebelumnya tak ada peraturan mengenainya. Asas ini sekarang sudah dimaknai sedemikian rupa sehingga misalnya pencoleng uang negara yang kendati sudah terbukti melakukan tindakan pengambilan atas apa yang bukan haknya dapat dibebaskan dari tuduhan korupsi bila dapat mengembalikan uang itu, karena dengan mengembalikannya maka ia dianggap tak memenuhi pasal tentang tindak pidana korupsi yang menyebut “merugikan keuangan negara”. Begitu juga dengan tindak pembunuhan yang kendati sudah jelas-jelas ada yang tercabut nyawanya. Padahal makna dan tujuan asas ini yang sebenarnya tidak demikian. Asas ini, yang pertama kali masuk dalam sistem hukum melalui piagam Magna Charta pada tahun 1215, jelas dimaksud untuk membatasi kesewenang-wenangan penguasa yang di zaman dahulu bisa dengan sesukanya bertindak apa saja kapan saja. Dengan asas ini maka sang raja hanya boleh melakukan apa yang sudah ada aturannya lebih dulu. [Matindas, Negara Sebenarnya, Bab XIV Bgn 2 “Asas-asas Hukum Tanpa Sistema Keasasian”.] *

Selama lima masalah dalam sistem hukum ini belum dibereskan, berapa banyak pun komisi negara yang hendak dibentuk tetap saja tidak akan pernah bisa membawa hasil yang diharapkan bagi pemberantasan korupsi maupun penegakan hukum secara cukup berarti di negara kita ini.

* * * * *

*) Contoh lain penggunaan asas hukum secara serampangan: Dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III DPR-RI dan KPK bersama POLRI dan Kejaksaan Agung RI pada November 2009, seorang Anggota DPR yang kendati seorang professor mengatakan bahwa legalitas (yang dalam hal ini ia artikan: adanya dan dipatuhinya aturan yang tertulis) merupakan asas Negara Hukum. Jelas ini sangat keliru, bahkan terdapat pertentangan dengan prinsip negara hukum yang banyak dianut.

Negara RI adalah negara hukum. Ketetapan ini sudah termaktub dalam penjelasan resmi konstitusi kita yang digunakan sejak 1945, dan sejak tahun 2001 melalui Amandemen Ketiga sudah dimasukkan sebagai Pasal 1 (3) UUD ‘45. Negara hukum berarti tak boleh ada tindakan pihak manapun yang bertentangan dengan hukum, dan bahwa kekuasaan setinggi apapun tidak boleh menjadi dasar atau pengabsah suatu tindakan. [Dulu istilah negara hukum atau rechtsstaat diperlawankan dengan negara kekuasaan atau machtsstaat, sebagaimana dapat kita baca pada Penjelasan UUD RI 1945. Tapi kemudian sejumlah ahli hukum tatanegara mengoreksi, karena negara hukum juga memiliki dan perlu mengandalkan kekuasaan.]

Negara Hukum memang harus disertai penjelasan mengenai asas-asasnya, agar membedakan dengan yang bukan Negara Hukum. Karena semua negara memiliki hukum. Ribuan tahun lampau Kerajaan Sumeria di bawah Raja Hammurabi sudah menerapkan undang-undang berkekuatan hukum, kemudian sejumlah negara theokratis bahkan sudah memegang hukum yang diyakini berasal dari kebenaran Tuhan, tetapi faktanya bahkan sampai tiga ratus tahun lalu umumnya negara di dunia masih berlaku sewenang-wenang atas warganya dan menista kemanusiaan.

Legalitas memang merupakan asas yang penting, tetapi tentu saja sangat tak memadai sebagai prinsip negara hukum. Para penyelenggara machtsstaat juga menerbitkan undang-undang tertulis untuk segala tindakan despotis, tirani, dan teror atas warga mereka. Di samping itu, dan ini yang justru bertolak belakang, sebagaimana salahsatu prinsip Negara Hukum yang diajukan Albert Venn Dicey (1835-1922): bahwa bahkan UUD tak memadai sebagai sumber hukum positif, melainkan kehendak untuk menegakkan hak-hak asasi manusia setiap wargalah yang merupakan sumber pengembangan hukum secara terus-menerus.

Itu adalah prinsip yang benar. Karena bukankah sangat sering ternyata betapa konstitusi malah menjadi penghalang laju pengembangan hukum?!

Asas yang diajukan Prof. A.V. Dicey ini memang paling sering disalah mengerti. Umumnya ahli di pelbagai negara hanya menganggap bahwa Dicey sedang membahas khusus negara Inggris yang tanpa sebuah naskah khusus berisi UUD. Sementara umumnya pembaca di negara-negara lain di luar Inggris sudah terlanjur mempersepsi serta memperlakukan UUD sebagai sesuatu yang nyaris keramat dan ideologis, sehingga tak menilai penting pengertian terdalam dari asas yang diajukan Dicey tersebut. Umumnya ahli hukum di seluruh dunia hanya memberi perhatian pada asas rule of law yang pertama kali diajukan oleh A.V. Dicey.

BEM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar