Sabtu, 28 November 2009

Ekologi yang Menyelesaikan
















Gerakan Eko-Logi Underdosage*

Oleh: Benni E.Matindas

Untuk edisi revisi bukunya ihwal sejarah pemikiran ekonomi, yang sudah diterjemah ke puluhan bahasa di dunia, Robert Heilbroner memasukkan soal lingkungan hidup sebagai masalah gawat yang sudah harus selalu jadi hitungan. Dalam edisi tahun 1972 (35 tahun lalu) itu, sang profesor filsafat ekonomi mengangkat sebuah anekdot satire pro-lingkungan: Konon suatu hari seorang industrialis sedang asyik memandang dari gedung tinggi kantornya ke arah cerobong-cerobong asap pabriknya yang menjulang gagah ke langit. Tiba-tiba wajahnya menegang, dahinya berkerut, menatap lebih serius ke satu titik di bawah sana. Dia sedang berusaha membaca lebih cermat sebuah poster yang diacungkan seorang demonstran pro-lingkungan hidup, yang memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran yang sedang dinikmati manusia ada batasnya, tak akan bisa lebih dari 35 tahun lagi. Setelah membaca lebih jelas, si industrialis pun lega dan gembira, “Waduh! Waduuuh! Saya sampai kaget, tadi saya kira tulisannya ‘3-5 tahun lagi’….”

Heilbroner sendiri kemudian tercatat sebagai seorang perintis wacana pro-lingkungan berkat bukunya yang lain, An Inquiry into the Human Prospect (1974). Setelah Rachel Carson, Garret Hardin, dan yang paling menyentak yakni Donella Meadows bersama Kelompok Roma yang mempublikasi Batas-batas Pertumbuhan tepat pada 35 tahun yang lalu. Merekalah yang memulai kajian bersifat komprehensif dan radikal mengenai pembinasaan ekosistem, isu yang sudah disuarakan pelbagai kalangan sejak akhir abad XIX. Kemudian, hingga kini, sudah sangat banyak tulisan mengenai lingkungan hidup yang jauh lebih ganas mengancam dan sekaligus lebih menggugah perasaan.

Tapi ternyata hingga sekarang, sesudah 35 tahun berlalu, setiap negara sedunia masih tetap dan makin memacu (dan membanggakan) pertumbuhan ekonominya yang tanpa perduli dengan kehancuran lingkungan hidup. Meski kenyataan yang terjadi jauh lebih mengerikan daripada apa yang baru dapat dibayangkan orang pada empat dekade silam. Efek rumah-kaca, misalnya, yang dulu masih merupakan sinyalemen yang belum jelas validitas teoretisnya, sekarang sudah dialami langsung segala akibatnya. Suhu udara yang makin tinggi, dan yang kenaikannya makin cepat. Kekeringan di mana-mana akibat kemarau yang liar dan ekstrem, tetapi juga semakin sering terjadi badai dan banjir besar. Musim menjadi kacau. Dan banyak lagi dampak lain dari efek rumah kaca, yang kesemuanya menelan korban manusia. Dan banyak lagi masalah lain, selain efek rumah kaca.

Banyak penyebab amat lemahnya upaya membereskan problematika lingkungan hidup. Tetapi jika ditatap secara seksama akan jelas betapa negara berada pada posisi sentral dari kelemahan itu. Negara tak mampu mengerahkan kuasanya dalam mencegah pengrusakan lingkungan, bahkan tak jarang negara yang melancarkan pelanggaran serta kejahatan lingkungan dengan kekuasaan yang tak terbendung oleh warga maupun dunia internasional. Jadi, kegagalan manusia dalam membina lingkungan hidupnya sendiri tak lain akibat kegagalan membangun sistem negara yang sebenar-benarnya bisa dijadikan wahana memenuhi semua kebutuhan masyarakat manusia termasuk generasi-generasi mendatang. Semua program, rekomendasi, rencana-aksi, resolusi internasional, bahkan yang sudah dijadikan hukum nasional, selamanya gampang dilanggar di setiap negara, dengan atau tanpa dalih “demi pembangunan nasional”, “keharusan menjaga momentum pertumbuhan”, dan sebagainya. Dan khusus negara-negara dunia ketiga bertambah lagi dengan alasan suci “Negara-negara industri maju sudah merampok dan merusak alam kami lebih dulu, mereguk kelimpah-mewahan, merekalah yang paling banyak mencemarkan atmosfir dan biosfir, lalu sekarang hendak melarang kami memacu pertumbuhan ekonomi!”

Selaras dengan ihwal lingkungan hidup yang adalah soal hidup atau mati, kiranya mesti demikian lugas, tegas dan tuntaslah kita membereskan hal daya guna negara dalam ekologi. Untuk itu, pertama, kesadaran ekologis harus dikonstitusikan secara memadai dan benar. Manusia, juga negara sebagai fungsi manusia, merupakan bagian dalam ekosistem. Jadi, negara adalah fungsi ekologi. Bukan seperti selama ini dimana ekologi cuma diperlakukan bukan saja sebagai hanya salahsatu aspek tapi bahkan cuma sebagai tempelan pada salahsatu aspek yakni ekonomi. Malah tak jarang ekologi cuma dinilai sebagai beban tambahan pada usaha ekonomi, sehingga kalau bisa disingkir saja. Konstitusi beramanat pro-lingkungan ini, melalui sistem hukum yang jelas, menjadi tolok ukur gagal atau berhasilnya setiap pemegang mandat rakyat dalam penyelenggaraan negara. Dengan demikian mengakhiri kondisi dan sifat perjuangan pro-lingkungan selama ini yang cuma bertumpu pada imbauan-imbauan etis dengan segala kata-kata puitis.

Kedua, dewan rakyat harus sungguh merupakan pemegang kekuasaan tertinggi supaya tetap sanggup menjalankan fungsi pengawasan atas pelaksanaan negara, termasuk mengawasi penegakan hukum. Untuk itu parlemen tak boleh diturunkan kualitasnya melalui sistem pemilu yang lain dari sistem distrik. Parlemen tak boleh diturunkan kualitasnya oleh sistem voting tertutup dan tanpa mengutamakan diskursus pro-lingkungan. Parlemen tak boleh diperkecil daya daulatnya oleh hambatan kepentingan partai-partai melalui lembaga fraksi dan recalling. Tak boleh diperlemah oleh dualisme model bikameral. Tak boleh diturunkan status tertingginya melalui konsep salah kaprah trias politika (Presiden dan MA dijejer setara dengan DPR; bahkan di Indonesia lebih rendah daripada Presiden karena adanya MPR). Ketika hukum gagal berfungsi — lantaran tanpa pengawasan memadai atas lembaga-lembaga penegak hukum — maka jangankan pelanggaran hukum lingkungan hidup demi pertumbuhan yang menjanjikan kemakmuran orang banyak, yang nyata-nyata langsung merugikan negara dan rakyat (seperti illegal logging) pun berlangsung terus bebas hambatan. Parlemen bukan lagi pengawal konstitusi yang ditetapkannya, tapi abdi partai besar yang mudah berubah arah.

Ketiga, sistem hukum internasional harus diberdayakan. Lingkaran setan harus segera diputus; negara A tak mau patuh konvensi internasional dan menolak dihukum karena kenyataan negara B dan C masih melanggar. Di samping rakyat di masing-masing negara akan mengawasi langsung pemerintahnya demi keselamatan manusia sejagat. Kedengaran seperti utopis, atau usaha yang terlalu besar. Tapi, sementara para pemikir negara-dunia — sejak Abu Nasr Muhammad al-Farabi, sederet Paus, Martin Luther, Hugo de Groot, Immanuel Kant, hingga para pemikir di zaman kita seperti Robert Dahl (dengan bukunya After the Revolution?) dan David Held (Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance), dan lain-lainnya, pastilah bukan sekadar pengkhayal tanpa tujuan konkrit, kebutuhan menyelamatkan bumi tempat hidup kita semua ini pun adalah keharusan yang sudah tak boleh lagi dinilai sebagai usaha yang terlalu besar — setelah segala program besar selama ini terbukti underdosage. Ukuran “terlalu besar” pun sudah tak relevan, mengingat taruhannya yang tak bisa ditawar-tawar: tak akan ada lagi seorang manusia pun untuk menilai dan mengukur semua akibatnya, karena saat itu spesies kita sudah punah.

Mengenai program ekologi ini, manusia sudah tak lagi memiliki hak untuk banyak memilih. Dan tak boleh terlambat. Ada batas waktunya.

*) Tulisan ini untuk mengajak kita semua menilai serta menilai-ulang pelaksanaan berikit hasil-hasil United Nations Network on Climate Change Conference di Bali tahun 2007 dan semua upaya pelestarian lingkungan hidup selama ini.

Tentang istilah: eko-logi untuk mengingatkan bahwa persoalan lingkungan hidup bagaimanapun tetap memposisikan setiap kita manusia sebagai subyek yang harus bertanggung jawab, memikirkan, dan yang harus berjuang untuk menyelamatkan alam lingkungan hidup spesies kita. Ekosistem: lingkungan hidup di dalam mana manusia hanyalah bagian atau salahsatu obyek. Ekologi: wawasan dan program manusia mengenai ekosistem. Underdosage: dosis-kurang, tak memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar